Kasus Korupsi Di Indonesia


-->
Daftar Hitam Para Pengemban Amanat
Kasus-kasus Korupsi di Indonesia

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bertekad dalam program kerja seratus harinya akan mengutamakan pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Menurut Presiden, KKN, akan menjadi salah satu masalah berat yang harus diselesaikan oleh Pemerintah yang baru. Jika dirunut, masih banyak masalah KKN di negara ini yang dalam proses hukumnya berhenti di tengah jalan. 
Berikut adalah kasus-kasus KKN besar yang menunggu untuk diselesaikan. 
  • SOEHARTO Kasus Soeharto Bekas presiden Soeharto diduga melakukan tindak korupsi di tujuh yayasan (Dakab, Amal Bakti Muslim Pancasila, Supersemar, Dana Sejahtera Mandiri, Gotong Royong, dan Trikora) Rp 1,4 triliun. Ketika diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, ia tidak hadir dengan alasan sakit. Kemudian majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengembalikan berkas tersebut ke kejaksaan. Kejaksaan menyatakan Soeharto dapat kembali dibawa ke pengadilan jika ia sudah sembuh? walaupun pernyataan kejaksaan ini diragukan banyak kalangan. 

  • PERTAMINA Dugaan korupsi dalam Tecnical Assintance Contract (TAC) antara Pertamina dengan PT Ustaindo Petro Gas (UPG) tahun 1993 yang meliputi 4 kontrak pengeboran sumur minyak di Pendoko, Prabumulih, Jatibarang, dan Bunyu. Jumlah kerugian negara, adalah US $ 24.8 juta. Para tersangkanya 2 Mantan Menteri Pertambangan dan Energi Orde Baru, Ginandjar Kartasasmita dan Ida Bagus Sudjana, Mantan Direktur Pertamina Faisal Abda'oe, serta Direktur PT UPG Partono H Upoyo. Kasus Proyek Kilang Minyak Export Oriented (Exxor) I di Balongan, Jawa Barat dengan tersangka seorang pengusaha Erry Putra Oudang. Pembangunan kilang minyak ini menghabiskan biaya sebesar US $ 1.4 M. Kerugian negara disebabkan proyek ini tahun 1995-1996 sebesar 82.6 M, 1996-1997 sebesar 476 M, 1997-1998 sebesar 1.3 Triliun. 

  • Kasus kilang Balongan merupakan benchmark-nya praktek KKN di Pertamina. Negara dirugikan hingga US$ 700 dalam kasus mark-up atau penggelembungan nilai dalam pembangunan kilang minyak bernama Exor I tersebut. Kasus Proyek Pipaisasi Pengangkutan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Jawa (Pipianisasi Jawa), melibatkan Mantan Direktur Pertamina Faisal Abda'oe, Bos Bimantara Rosano Barack, dan Siti Hardiyanti Rukmana. Kerugian negara hingga US$ 31,4 juta. Korupsi di BAPINDO Tahun 1993, pembobolan yang terjadi di Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) dilakukan oleh Eddy Tanzil yang hingga saat ini tidak ketahuan dimana rimbanya, Negara dirugikan sebesar 1.3 Triliun. 

  • HPH dan Dana Reboisasi Hasil audit Ernst & Young Kasus HPH dan Dana Reboisasi Hasil audit Ernst & Young pada 31 Juli 2000 tentang penggunaan dana reboisasi mengungkapkan ada 51 kasus korupsi dengan kerugian negara Rp 15,025 triliun (versi Masyarakat Transparansi Indonesia). Yang terlibat dalam kasus tersebut, antara lain, Bob Hasan, Prajogo Pangestu, sejumlah pejabat Departemen Kehutanan, dan Tommy Soeharto. Bob Hasan telah divonis enam tahun penjara. Bob dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi proyek pemetaan hutan senilai Rp 2,4 triliun. Direktur Utama PT Mapindo Pratama itu juga diharuskan membayar ganti rugi US$ 243 juta kepada negara dan denda Rp 15 juta. Kini Bob dikerangkeng di LP Nusakambangan, Jawa Tengah. Prajogo Pangestu diseret sebagai tersangka kasus korupsi dana reboisasi proyek hutan tanaman industri (HTI) PT Musi Hutan Persada, yang diduga merugikan negara Rp 331 miliar. Dalam pemeriksaan, Prajogo, yang dikenal dekat dengan bekas presiden Soeharto, membantah keras tuduhan korupsi. Sampai sekarang nasib kasus taipan kakap ini tak jelas kelanjutannya. 

  • Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Kasus BLBI pertama kali mencuat ketika Badan Pemeriksa Keuangan mengungkapkan hasil auditnya pada Agustus 2000. Laporan itu menyebut adanya penyimpangan penyaluran dana BLBI Rp 138,4 triliun dari total dana senilai Rp 144,5 triliun. Di samping itu, disebutkan adanya penyelewengan penggunaan dana BLBI yang diterima 48 bank sebesar Rp 80,4 triliun. Bekas Gubernur Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono dianggap bertanggung jawab dalam pengucuran BLBI. Sebelumnya, mantan pejabat BI lainnya yang terlibat pengucuran BLBI?Hendrobudiyanto, Paul Sutopo, dan Heru Soepraptomo?telah dijatuhi hukuman masing-masing tiga, dua setengah, dan tiga tahun penjara, yang dianggap terlalu ringan oleh para pengamat. Ketiganya kini sedang naik banding. Bersama tiga petinggi BI itu, pemilik-komisaris dari 48 bank yang terlibat BLBI, hanya beberapa yang telah diproses secara hukum. Antara lain: Hendrawan Haryono (Bank Aspac), David Nusa Widjaja (Bank Servitia), Hendra Rahardja (Bank Harapan Santosa), Sjamsul Nursalim (BDNI), dan Samadikun Hartono (Bank Modern). Yang jelas, hingga akhir 2002, dari 52 kasus BLBI, baru 20 dalam proses penyelidikan dan penyidikan. Sedangkan yang sudah dilimpahkan ke pengadilan hanya enam kasus Abdullah Puteh Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam yang kini non aktif ini menjadi tersangka korupsi APBD dalam pembelian helikopter dan genset listrik, dengan dugaan kerugian Rp 30 miliar. Kasusnya kini masih ditangani pihak kejaksaan dengan supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi. Pusat Data dan Analisa Tempo, Fitrio ? Tempo

Kasus Korupsi Lain 

1. Sudjiono Timan - Dirut PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI)

Sudjiono Timan (lahir di Jakarta, 9 Mei 1959; umur 49 tahun) adalah seorang pengusaha asal Indonesia. Dari tahun 1995 hingga 1997 ia menjabat sebagai Direktur Utama PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI). Ia saat ini merupakan seorang buronan karena melarikan diri dari hukuman pengadilan. Oleh pengadilan, Timan telah diputuskan bersalah karena telah menyalahgunakan kewenangannya sebagai direktur utama BPUI dengan cara memberikan pinjaman kepada Festival Company Inc. sebesar 67 juta dolar AS, Penta Investment Ltd sebesar 19 juta dolar AS, KAFL sebesar 34 juta dolar AS, dan dana pinjaman Pemerintah (RDI) Rp 98,7 miliar sehingga negara mengalami kerugian keuangan sekitar 120 juta dolar AS dan Rp 98,7 miliar.
Pada pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Timan dibebaskan dari tuntutan hukum karena perbuatannya dinilai bukan tindak pidana. Menanggapi vonis bebas itu, Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi dan meminta Majelis Kasasi menjatuhkan pidana sebagaimana tuntutan terhadap terdakwa yaitu pidana delapan tahun penjara, denda Rp30 juta subsider enam bulan kurungan, serta membayar uang pengganti Rp1 triliun.
Pada Jumat, 3 Desember 2004, Majelis Kasasi Mahkamah Agung (MA) yang dipimpin oleh Ketua MA Bagir Manan memvonis Sudjiono Timan dengan hukuman 15 tahun penjara, denda Rp50 juta, dan membayar uang pengganti sebesar Rp 369 miliar.
Namun, saat Kejaksaan hendak mengeksekusi Sudjiono Timan pada Selasa, 7 Desember 2004, yang bersangkutan sudah tidak ditemukan pada dua alamat yang dituju rumah di Jalan Prapanca No. 3/P.1, Jakarta Selatan maupun rumah di Jalan Diponegoro No. 46, Jakarta Pusat dan dinyatakan buron dengan status telah dicekal ke luar negeri oleh Departemen Hukum dan HAM.
Pada 17 Oktober 2006, Kejaksaan Agung Republik Indonesia mulai menyebarkan foto dan datanya ke masyarakat melalui televisi dan media massa sebagai salah satu 14 koruptor buron yang sedang dicari.
'

2. Eko Edi Putranto - Direksi Bank Harapan Sentosa (BHS)


Eko Edi Putranto (lahir 9 Maret 1967; umur 41 tahun) adalah terpidana kasus korupsi di Bank Harapan Sentosa (BHS). Ia telah divonis untuk menjalani 20 tahun penjara, denda Rp 30 juta, dan pembayaran uang pengganti sebesar Rp 1,95 trilyun. Ia disidang secara in-absentia dan tidak dapat dieksekusi badan sesuai putusan pengadilan tinggi DKI Jakarta pada tanggal 8 November 2002.
Namun sampai saat ini statusnya masih buron dan diduga berada di Australia. Status buronnya ditetapkan Kejaksaan Agung pada tanggal 30 Oktober 2006. Ia adalah mantan komisaris BHS dan merupakan putera dari Hendra Rahardja yang menjadi direktur bank tersebut. Dalam rilis kejaksaan agung dideskripsikan bahwa ia mempunyai ciri-ciri tinggi badan sekitar 170 cm, warna kulit putih, bentuk muka oval, mata sipit dan rambut hitam lurus.
Ia dipersalahkan karena selaku komisaris atau pemegang saham bersama-sama dengan ibunya terpidana Sherny Konjongian, selaku Direktur Kredit, antara tahun 1992-1996 telah memberikan persetujuan kredit kepada 6 perusahaan dalam grup. Ia juga memberikan persetujuan kredit kepada 28 lembaga pembiayaan yang ternyata merupakan rekayasa. Karena kredit itu oleh lembaga pembiayaan disalurkan kepada perusahaan grup. Caranya dengan disalurkan lewat penerbitan giro kepada perusahaan grup tanpa proses administrasi kredit dan tidak dicatat atau dibukukan. Selanjutnya, beban pembayaran lembaga pembiayaan kepada BHS dihilangkan dan dialihkan kepada perusahaan grup. Akibatnya, negara dirugikan Rp 1,95 triliun.


Terulangnya Kasus Korupsi di DPR

JAKARTA - Terungkapnya kembali kasus dugaan korupsi yang melibatkan anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) Abdul Hadi Djamal turut disesalkan Ketua DPR Agung Laksono. "Tentu saya menyesalkan hal itu semakin meluas," katanya kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (3/3/2009). Bentuk penyesalan ini, menurut Agung, dicerminkan dalam dukungan penuh DPR terhadap tindakan tegas yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). DPR, kata Agung, tidak akan menghalang-halangi tugas KPK dalam mengungkap kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR. "Kami tidak akan menolak, silakan saja. Sepanjang itu sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan sesuai bukti-bukti dan data yang akurat, tidak ada politisasi, serta semata mata untuk penegakan hukum dan memberantas korupsi," ungkapnya. Agung juga mempersilakan KPK menyelidiki kasus tersebut hingga ke akar-akarnya. "Apabila ada teman yang terkait, tentu ini harus dimintai pertanggungjawaban," tegasnya. DPR sampai sejauh ini akan membiarkan proses hukum berjalan sesuai prosedur yang berlaku. "Jangan sampai dikatakan ada intervensi, biar diselesaikan dulu dan nanti pada saat yang tepat DPR juga akan melakukan tindakan," pungkasnya.(ded)
KPK Baru Selesaikan 80 Kasus Korupsi

INILAH.COM, Jakarta - Sekitar 27 ribu kasus korupsi yang diterima KPK sejak lembaga korupsi ini dibentuk pada 2003. Dari jumlah itu, baru sekitar 10% yang ditindaklanjuti. Sebanyak 80 kasus korupsi yang sudah dituntaskan KPK.
"Memang belum banyak. Kalau dihitung-hitung baru sekitar satu persennya saja yang sudah terselesaikan," kata Deputi Bidang Pencegahan Korupsi KPK, Eko Susanto Ciptadi, di Medan, Kamis, (4/12).
Menurut Eko, sebanyak 50 laporan pengaduan masyrakat yang diterima KPK setiap harinya. Laporan dugaan korupsi tersebut, dilakukan oleh berbagai pihak baik oleh pejabat maupun instansi lainnya.
Sedangkan sebanyak 27 ribu pengaduan masyarakat, tidak hanya berasal dari pemerintah pusat. Tapi, juga dari daerah di seluruh Indonesia.
Eko menjelaskan, tidak semua kasus korupsi bisa ditangani KPK. Sebab, dalam menindaklanjuti kasus korupsi, KPK memiliki beberapa kriteria. Seperti, kasus korupsi yang sudah meresahkan masyarakat. Disamping itu, kasus korupsi yang merugikan negara minimal Rp 1 miliar.
"Artinya kalau kerugian negara masih kurang Rp 1 miliar, kasus itu masih ditangani oleh pihak kejaksaan saja," jelasnya.
Meski begitu, tambah Eko, ada juga beberapa kasus korupsi yang bisa diambil alih KPK dari kejaksaan. Salah satunya jika penanganan kasus korupsi yang diusut kejaksaan tak kunjung rampung.
"Lainnya adalah diduga adanya tindakan korupsi dalam penanganan suatu kasus korupsi dan adanya intervensi politik dari berbagai kalangan," pungkas Eko.[*/jib]
Koruptor Indonesia Didominasi Pejabat dan Pengusaha
Minggu, 22 Februari 2009 | 06:16 WIB
TEMPO Interaktif, Bandung: Tindak korupsi di Indonesia lebih banyak diperankan i kalangan pengusaha dan pejabat. Sejak Orde Lama, Orde Baru hingga era reformasi, kedua kelompok ini masih paling banyak menggarong uang negara dengan aneka modus korupsinya. "Modus khas pejabat minta uang lalu dibagi-bagikan kemudian sebagian dipakai untuk kegiatan sosial," kata mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Amien Sunaryadi di Bandung, kemarin.
Amien dalam diskusi korupsi di Aula Barat Institut Teknologi Bandung juga memaparkan hasil kajiannya terhadap pemberitaan kasus korupsi sejak 1955 hingga sekarang di sejumlah surat kabar. Pada 1955, misalnya, Menteri Kehakiman Djody Gondokusumo ditangkap karena menerima suap dari seorang pengusaha agar bisa mendapat visa. Lalu pada 1957, Polisi Militer Divisi Siliwangi Jawa Barat bergerak menangkapi para koruptor yang menggelembungkan harga kertas suara Pemilu. Terus berulang dan miripnya modus korupsi tersebut, kata Amien, menunjukkan besarnya kesalahan sistem di negara ini. Yang mengenaskan adalah bahwa para pejabat koruptor umumnya orang-orang berpendidikan tinggi, minimal sarjana. Juga kenyataan pelaku korupsi ternyata mahasiswa yang dulu turun ke jalan menolak korupsi pejabat. "Kalau negara ini dibilang maju, hebat, itu mimpi di siang bolong," katanya. Solusinya, Amien meminta pemerintah memperbaki sistem manajemen pengelolaan negara. Selain itu, mengubah pola pikir masyarakat dan mengikut sertakan kalangan pengusaha untuk menolak korupsi, misalnya dengan tidak menyuap pejabat. "Yang dipenjara itu kebanyakan orang pemerintah, padahal keuntungan (korupsinya) kecil," tandasnya. 

ANWAR SISWADI
Masih banyak sekali kasus korupsi yang terjadi di Indonesia, baik yang sudah terungkap atau belum terjamah atau tidak terungkap sama sekali baik korupsi kelas kacungan sampai korupsi kelas kakap. Inilah sisi Hitam pemerintahan Indonesia, entah sampai kapan koruptor di Indonesia bisa dihentikan, ini pula yang memicu banyaknya golput di Indonesia/tindakan tindakan apatis terhadap pemerintahan Indonesia.
Apakah Korupsi di Indonesia bisa dihilangkan?




Related Posts

Subscribe Our Newsletter